Makna Filosofi Piranti Perkawinan Adat Jawa
Thefilosofi.blogspot.com - Mengapa di setiap hajatan pernikahan yang masih bernuansa kejawen
selalu ada hiasan seperti janur kuning melengkung, tebu, cengkir, pisang
raja dan sebagainya yang ditempatkan di depan rumah. Ada banyak makna
yang tersimbol di balik semuanya. Ini pula yang membuktikan luhurnya
Bahasa Jawa.
Sebenarnya, dalam prosesi pernikahan – pada acara temu atau panggih,
sang pembawa acara atau pranatacara, telah memberi penjelasan secara
wijang (jelas). Namun karena ungkapan yang dilakukan pranatacara itu
dalam bahasa Jawa Kawi yang kerap digunakan dalam bahasa pedalangan,
justru menyebabkan banyak orang Jawa yang tak memahami maksud yang
terkandung di dalamnya.
Memang terkesan sangat naif dan lucu apabila orang Jawa tidak
memahami bahasanya. Namun kita juga bisa memakluminya. Penggunaan Bahasa
Jawa Kawi ini sangat khas digunakan di acara pernikahan yang erat
kaitannya dengan tatacara adat. Kekhasan ini pula yang membuat Alquran
yang disampaikan dalam Bahasa Arab, namun tidak semua orang Arab bisa
memahami Alquran. Diperlukan kajian yang mendalam. Kajian yang lebih
dari sekadar memahami makna leksikalnya.
Banyak nasehat yang terkandung dalam acara prosesi pernikahan adat
Jawa. Para pujangga dan leluhur Jawa yang telah menciptakan tradisi atau
adat dalam acara pernikahan, tentu telah mengantongi nilai-nilai
positif Ilahiyah. Semua itu banyak dikemas secara simbolis dan
perlambang. Hal ini tak lepas dari kebiasaan orang Jawa yang tak memberi
nasihat secara vulgar. Lebih sering digunakan pasemon (metafora,
perlambang, simbolik dan sebagainya).
Makna simbolis yang terkandung dalam janur kuning melengkung yang
berada di pintu gerbang sang tuan rumah pengantin. Kata Janur sendiri,
berasal dari kiratha basa Jawa (Othak-athik mathuk), sejane neng nur
(arahnya menggapai nur=cahaya Ilahi). Sedangkan kata kuning bermakna
sabda dadi (kun fayaku-Nya Allah SWT) yang dihasilkan dari hati atau
jiwa yang bening. Dengan demikian, janur kuning mengisyaratkan cita-cita
mulia dan tinggi untuk menggapai cahaya Ilahi dengan dibarengi hati
yang bening. Nampak betapa tingginya filosofi janur kuning dalam prosesi
pernikahan.
Filosofi yang tak kalah hebatnya nampak ketika mempelai pengantin
laki akan dipertemukan dengan mempelai pengantin perempuan. Sebelumnya
masing-masing mempelai telah dibekali dengan daun sirih (suruh) yang
telah digulung untuk kemudian dilemparkan pada pasangannya
masing-masing. Daun sirih ini memiliki simbol selaras, serasi dan
seimbang.
Pada saat tersebut sang pranatacara ”Godhong suruh lumah lan kurebe,
yen ginigit pada rasane”. Sebenarnya hal ini mengisyaratkan bahwa orang
yang berumahtangga diibaratkan sebagai daun sirih. Dalam bahtera rumah
tangga hendaknya pasangan mempelai selalu seiya-sekata serta
mengerjakan kewajibannya masing-masing. Suami memberi nafkah lahir dan
bathin, termasuk mendidik isteri. Sehingga dia menjadi pemimpin dalam
mengurusi anak-anaknya, mengelola keuangan, menyiapkan makanan dan
seterusnya.
Makna simbolis Tebu, Cengkir dan Pisang raja
Kalau kita mengamati di sebelah kiri-kanan ”gapura janur kuning”,
terlihat pula tebu, cengkir dan pisang raja yang diikat pada dua tiang
di depan ruang pertemua resepsi. Itu semua adalah simbolisasi nasehat
yang diberikan para pujangga Jawa agar mempelai mempersiapkan masa depan
kehidupannya secara sungguh-sungguh.
Pertama, Tebu. Tebu bisa kita artikan sebagai mantebing kalbu
(mantapnya hati atau kalbu). Tanaman tebu yang rasanya manis dan
menyegarkan memang sering dipakai sebagai simbol atau lambang dalam
acara tradisi Jawa lainnya. Hal ini bisa kita lihat pada acara mitoni
(selamatan untuk anak yang berusia 7 bulan). Si anak lalu dipandu untuk
menaiki anak tangga.
Kedua, cengkir (buah kelapa yang masih muda). Maknanya adalah
kencenging pikir. Dengan berbekal cengkir, sang mempelai diharapkan
mampu melewati ujian kritis dalam mempertahankan pernikannya. Sehingga
”kaya mimi lan mituna” yang selalu bersama dalam menghadapi suka dan
duka.
Ketiga, pisang raja, maknanya sangat jelas sebagai simbol dari raja.
Artinya pernikahan manusia adalah salah satu tahap yang paling penting
dari tiga proses perjalanan; kelahiran, perkawinan dan kematian.
Diibaratkan dalam resepsi itu, pengantin adalah raja sehari yang
disimbolisasikan dengan pisang raja yang ditempatkanm di depan rumah.
Mempelai pun didudukkan di singgasana rinengga dengan mengenakan
pakaiana ala raja dan permaisuri yang penuh aura kewibawaan.
Bobot, Bibit, Bebet
Gegarane wong akrami
dudu bandha dudu rupo, amung ati pawitane, luput pisan kena pisan, yen
angel angel kelangkung tan kena tinumbas arta (Rambu rambu
pernikahan bukan soal harta dan bukan karena wajah. Hanyalah hati yang
menjadi modal pertimbangannya, Jika sekali salah jika benar pun sekali.
Jika telanjur sulit, maka sulitnya luar biasa, tak bisa dibeli dengan
harta). Demikian ungkapan atau refleksi pujangga Jawa mengenai gegarane wong akrami.
Betapa pentingnya rambu-rambu pernikahan ini. Karena pernikahan buka
sekadar hubungan lelaki dan perembuan berdasar naluri seksual.
Pernikahan merupakan perjanjian yang snagat koko (mithaqan ghlizan).
Perjanjian lahir dan batin seorang lelaki dan perempuan untuk membentuk
keluarga bahagia dan sejahtera sesuai dengan ketentuan sang pencipta
dalam rangka berbakti dan beribadah kepad-Nya.
Berawal dari kehati-hatian menghadapi perkawinan itu pula, pujangga
Jawa memberi rambu dalam memilih jodoh. Orang Jawa harus melihat dan
mempertimbangkan obor-obor atau dom sumusupe banyu. Ada tiga hal
penting yang menjadi pertimbangan itu.
Pertama, Bobot. Yakni menyeleksi kualitas calon pasangan pengantin.
Hal ini sangat ditekankan terutama untuk calon pengantin laki-laki.
Karena bahagia atau tidaknya seorang isteri sangat dipengaruhi oleh
tingginya kualitas pendidikan dari sang suami. Hal ini akan sangat
berpengaruh pada kestabilitasan sosial ekonomi rumah tangga yang akan
dijalaninya.
Kedua, Bibit. Yakni pertimbangan berdasarkan keturunan atau keadaan
orang tua sang calon pengantin. Keturunan ini pula yang nantinya sangat
berpengaruh pada keadaan sosial kemasyarakatan dalam rumah tangga yang
akan dijalani oleh si pengantin. Tentu ada beban psikologi sosial yang
tinggi seandainya sang calon pengantin memiliki latar belakang
kehidupan yang cacat dari sudut pandang sosial masyarakat.
Ketiga, Bebet. Perangai dari sang calon pasangan mempelai perlu
dipelajari untuk menjadi bahan pertimbangan yang sangat matang sebelum
menuju ke jenjang pernikan. Orang yang baik bisa dilihat dari
ketercapaian hasil pada suatu proses sosialisasi di keluarga.
0 Response to "Makna Filosofi Piranti Perkawinan Adat Jawa"
Post a Comment